Pada rimbun ilalang panjang kamu hilang menuju persembunyian.
Segala peluh yang kau teguk sendiri agar tak bisa dibagi keluh kesahnya padaku,
sementara sketsa rasamu belum sempurna tuk dipajang pada tembok rumah kita,
dan kamu terburu berkemas demi mengganjal resah dengan sepotong roti yang kita simpan tuk besok malam.
Pada dingin yang tak tercatat dalam suhu tubuh kita,
percakapan tergeletak pasrah menunggu teraih pacu larimu menuju ke entahan tuju.
Dan kita ibarat musafir menolak kepulangan,
memilih tersesat dalam gumuk pasir tanpa tujuan,
lalu pemberhentian hanya untuk saling menyuapi kecewa yang membusung kelaparan.
Pada kepasrahan, bahkan sebelum bait pertama rampung dituliskan,
dan kata kata yang saling berbagi hening dalam cerita masing masing,
sungai tak berarus dan laut tak bermuara,
dan kita hanyut menuju kesedihan tak terbagi adil.
Pada rimbun ilalang,
pada setiap jengkal pelarian,
pada persembunyian,
pada dingin yang hening,
pada kepasrahan yang renta;
kita, dua yang terbengkalai atas rasa,
merangkum kehilangan-kehilangan,
yang menolak dirasakan.