Minggu, 21 Februari 2016

Pemakaman

Langit dipenuhi dengan awan hitam. Guntur bersahut-sahutan di atas sana. Hati kita gelap diselimuti kegelisahan masing-masing. Hari itu gelisahku bukan lagi gelisahmu, dan gelisahmu tak lagi dapat kuteduhi.
Hari itu senandungmu bagai pekik di telingaku, hari itu senandungku hanya bait sumbang yang tak ingin kau dengar.
Hari itu matamu penuh ledak, jemarimu menghitung mundur hujan badai yang segera tiba.
Di tengah hujan itu, bukan aku lagi yang akan meneduhimu. Dan di tengah hujan itu, kumakamkan bait senandung kita pada tiap penghujung malam di sepasang matamu. Dan pada nisanmu kubisikkan doa, agar kau baik saja.


Muhammad Gana
http://dioramakata.blogspot.co.id/

menetaplah

pagi sudah setengah siang,
hanya ada kita, diantara diam.
menyesap keheningan, yang enggan pecah dengan obrolan panjang.
berjalan kita pada setapak tak bermuara,
dengan langkah yang kebingungan untuk mengayun padu,
terlalu banyak  sekat yang memilih untuk saling tidak tau.

dan punggungku sudah kaku menghadap terik harapan,
hanya sesekali kamu mengguyurnya dengan hujan.
dan tubuhmu memilih dingin yang tak harap ku kenal,
hanya karena lelahmu menyusuri ketersesatanmu pada rumitku.

terengah kita pada keasingan temu,
dan hilang timbul debar beradu,
akan kah langit memilih mengabu?
meninggalkan kita di tengah ragu pada apa yang satu?

padamu,
dan tenggelamku pada ketersesatan laut kata,
akan kah ini tak akan kemana?

lalu jika ini tak menjadi cerita bertitik,
mau kah tuan sekedar ada dan menyumbang beberapa baris kata,
agar ku lanjutkan sendiri alurnya,
seperti apa yang dirasa kemarau dengan percikan hujan.
tetaplah ada, meski dengan ketiadaan,
tetaplah berirama, diantara sunyi dan riuh pikiran,
tetaplah berpegang, dengan segala mungkin yang akan terlepas,

meski kita adalah dua yang lengah dan lelah,
di antara keterombang-ambingan maksud tuhan,

tetaplah,
menetaplah.



ditulis Tasha Fairus