Minggu, 12 Juni 2016

Hilang

Pada rimbun ilalang panjang kamu hilang menuju persembunyian.
Segala peluh yang kau teguk sendiri agar tak bisa dibagi keluh kesahnya padaku,
sementara sketsa rasamu belum sempurna tuk dipajang pada tembok rumah kita,
dan kamu terburu berkemas demi mengganjal resah dengan sepotong roti yang kita simpan tuk besok malam.

Pada dingin yang tak tercatat dalam suhu tubuh kita,
percakapan tergeletak pasrah menunggu teraih pacu larimu menuju ke entahan tuju.
Dan kita ibarat musafir menolak kepulangan,
memilih tersesat dalam gumuk pasir tanpa tujuan,
lalu pemberhentian hanya untuk saling menyuapi kecewa yang membusung kelaparan.

Pada kepasrahan, bahkan sebelum bait pertama rampung dituliskan,
dan kata kata yang saling berbagi hening dalam cerita masing masing,
sungai tak berarus dan laut tak bermuara,
dan kita hanyut menuju kesedihan tak terbagi adil.

Pada rimbun ilalang,
pada setiap jengkal pelarian,
pada persembunyian,
pada dingin yang hening,
pada kepasrahan yang renta;

kita, dua yang terbengkalai atas rasa,
merangkum kehilangan-kehilangan,
yang menolak dirasakan.


Kaki

kami tidak pernah mengetahui apa yang diri ini akan hadapi
kami mengetahui kemana kaki kami ini melangkah 
tapi kita tidak pernah tau tujuan pasti dari kaki-kaki ini
mungkin saja lubang di tepi itu akan menjauhkan kaki kita 
atau mungkin kubangan itu akan menghanyutkan kaki kita
atau pohon yang sedang bersandar itu adalah perhentian terakhir kaki ini

akankah diri ini membawa kaki ini lebih jauh
atau membiarkan kaki ini melangkah di tempat 
beranikah diri itu mengajak kaki ini untuk lebih jauh
atau sebenarnya hanya kaki ini yang tak mampu  melangkah lebih

ketakutan membuat kaki ini bersih, jauh dari segala debu jauh dari segala lelah
akan kah suatu hari kaki ini menyesal karena kaki ini kurawat bagikan pajangan lemari kaca
atau kaki ini justru tidak akan pernah berdiri sendiri, tidak untuk menopang ku. 
bahkan untuk menopang mata kaki pun ia tak sanggup

melangkah lah lebih-lebih, buat cerita tentang kaki mu
jangan hanya diam seperti kaki nenek di kursi goyang itu
kaki itu tidak pernah menangis, tetapi kaki itu tidak pernah menjadi dirinya



Tuan dan Saya

Tuan, dimanakah tujuanmu?
Teka-tekimu yang luas seperti lautan
Ingin ku salami, berapa dalamnya kegundahan ini
Tanda tanya besar ini mengisi ruang pikiranku

Tuan, mengapa tak kau tunjukan saja inginmu?
Apakah kau tersiksa tanpa membuat cerita ?

Tuan,  saya tersiksa dalam waktu
Memaksakan menjaga jarak
Ingin melihat senda gurau mu
Terisak-isak tersilap tulisan yang kita buat
Saya ingin berjumpa tuan, mendekap
Saya masih teringat harumnya dekapanmu

Tuan, bisakah kita membuat cerita indah ‘lagi’?

Cerita yang tak berujung padanya “bo”



Minggu, 05 Juni 2016

Kau

Kau,
rinai yang membasahi beranda
yang memelukku dingin bersama angin selatan
menjelma rindu pada kelopak mata

Kau,
embun yang menjejak di jendela
lantunan nada yang mengirisku lirih
menjadi bahagia pada rimba yang jauh

Kau,
gurat yang patrinya tak lekang dalam enggan
batu karang yang kokoh di lautan ingatan
menjelma bayang di punggung keramaian

Kau,
mata yang ditumbuhi mawar
pada buku cerita yang kau suka

Kau,
punggung yang tak kusentuh
dalam potret lalu



ditulis oleh Muhammad Gana

Setapak Baru

Perihal aku,
dan ketakutan-ketakutan yang menghitam di bawah mataku.
Mengenai kantuk yang belum lelap ditiduri waktu tuk berkemas dari cerita lalu.
Mengenai luka yang belum genap diobati rasa tuk sekedar menjadi siap pada sebuah perjalanan baru.

Perihal aku,
dan kecemasan-kecemasan yang bergurat menggaris wajahku.
Mengenai persimpangan jalanan yang sudah, dan akan dipilih tuhan tuk memeta kehidupan.
Mengenai debar yang tak kunjung genap pada sekian perjumpaan berlainan.

Perihal aku,
dan kelelahan-kelelahan yang membiru pada geming tawaku.
Mengenai kisah-kisah tak usai yang menjadi catat kakiku tuk menahan langkah.
Mengenai musik-musik tak lantang yang menjadi caraku mengabu rasa tak menyuara resah.

Perihal aku yang tak lagi aku,
dan ribuan tanya menggantung pada lelangit mereka.
Mengenai pilihan-pilihan yang membawaku mengingkari kepercayaan pada waktu.
Mengenai langkah-langkah yang menderap perlahan membawaku mengiringi jalanmu.

Jangan jatuh terlalu cepat, katanya.
Sementara luka tak akan membawamu kemana, bisik mereka.
Dan kita yang berusaha memelankan bising radio menyuara berita-berita tak baik.
Dimana perihal aku menjadi perihal kita,
dan aku yang tak lagi menjadi aku dalam menyikapi langitmu yang biru.
Percaya pada bias cerah yang menerobos tirai gelapku,
dan keabstrakan kisah menuntun, yang tak pernah terpikir dalam lamun.
Dan kita dua yang tak lagi kita yang lalu,
berlari bersama konspirasi alam tuk lepas dari ketakutan, kecemasan dan keengganan tuk menjadi repetisi kisah tak baik.

Perihal kisah ini,
dan bait yang masih kita susun rimanya.
Mengenai kita, dua yang percaya pada apa yang tak biasa.
Mengenai kita, dua yang mengingkari keterjebakan langit gelap, dan berusaha saling menggenap dalam kisah yang saling melengkap.


ditulis oleh Tasha Fairus

Minggu, 22 Mei 2016

Langit dan Laut

Menjadi pasir tuk kau genggam dengan erat,
meski tercecer dari khilaf jarimu merapat,
tak mengapa,
karena bersama kamu harus merupa laut,
menjadi tenang dalam debur ombak,
berenang melawan arus rasa menyesak,
menjelma menjadi senja yang berusaha tak meledak,
meranum tanpa bisa teraih riak laut mendebur,
berusaha tak hilang bersama waktu yang mengabur,
menjelma kisah tak rangkap yang malu-malu diretas rasa tak akur.


-Tasha Fairus


http://berbagicangkir.blogspot.co.id/


(Interpretasi lagu Langit dan Laut, Banda Neira)

Langit yang Ingkar dan Laut yang Tengkar

Langit ingkar malam itu, ia penuhi kepalamu dengan ketidak-menentuannya.
Segala tanya yang enggan kita suarakan masih menyesakkan langit dan relungnya.
Segala tanya yang penuh sesak itu bermuara pada sesal.
Sementara laut masih tengkar akan ketidak-tahuanku.
Dan kamu masih bersungut dengan segala ragumu.
Langit yang ingkar dan laut yang tengkar, dan tanda tanya itu masih menjadi rahasia yang sesakkan jiwa kita.


-Muhammad Gana
http://dioramakata.blogspot.co.id/


(Interpretasi lagu Langit dan Laut, Banda Neira)
melangkah dan berlari di pagi hari ditemani sang mentari
melewati tarian segala daun di balik embun yang menguap terhempas angin malam itu

menari dan menari di bawah rembulan tak ada seorangpun mau bernyanyi
menikmati hujan tak kunjung usang 
terdengar gemuruh dari barat 
terhempas segala sesal yang pernah ada mencoba melupakan isi jiwa
tak ada langit sore ini karena sang mentari kembali menangis
jiwa yang tak kunjung kembali tersesat di tengah lautan
mencari teman untuk berbicara dan berbagi
menjadi sebuah kelelahan dan juga kelemahan
hiruk pikuk kota membuat dirinya lelah mencari
menangis di setiap langkahnya, tak ada lagi jiwa yang diisi keidupan
hanya ada kehampaan yang tersisa.
kini hilanglah sang mentari itu, untuk sekali lagi


-Raditya Satyoputra


(Interpretasi lagu Langit dan Laut, Banda Neira)

Rabu, 18 Mei 2016

Saat Kau Jadi Milikku

Dibawah bintang ku bernyanyi
Di bawah bulan ku bersenandung
Di bawah namamu ku jatuh cinta
Tepat,
Disaat itu aku melupakan
Segala rasa yang tak pernah ada.
Akankah ada kemungkinan
Detak nadi yang semakin cepat
Kenyataan yang menjadi mimpi
Saat kau jadi milik ku.


-Raditya Satyoputra

Minggu, 08 Mei 2016

Dua yang Ganjil

Pada senja yang ganjil,
di hari yang terlalu padat untuk dihabiskan,
terlalu lengang untuk dirasakan.
Pada sebuah kedai tak asing,
di waktu yang terlalu terang untuk diramaikan,
terlalu temaram untuk dibubarkan.

Tersimpan dua di antara sekian.
Menyendiri dalam bingar tak hingar, sepi tak sunyi.
Larut dua dari mereka dalam hening masing-masing,
seolah diam tak habis dikulum, lamun tak lepas diurai dari kusut.
Percakapan tak lahir sore itu,
terlalu prematur,
sementara tumpuk tanya tak lengkap tak ingin hidup dalam inkubasi,
atas dasar keterburuan waktu.

Dua yang tak saling tahu,
terlalu sibuk tuk sekedar merapat,
terlalu singkat tuk mencari cara merekat.
Dua yang bingung menamakan,
saling mencari dalam keserakahan tahu satu dan lain,
menjadi cerita yang gagap untuk dituliskan,
menjadi langit dini hari yang dingin dengan ribuan kemungkinan.

Dua yang menebak makna atas ketetapan dan jalan,
lahir dari ketidak sengajaan,
tumbuh perlahan dari cakap diam-diam,
besar dan dewasa dalam penantian;
dengan segala harap akan pengulangan senja yang genap,
rapat dan rekat,
di sebuah kedai tak asing,
tanpa harus mengulang asing.




-Tasha Fairus
http://berbagicangkir.blogspot.co.id/