Minggu, 22 Mei 2016

Langit dan Laut

Menjadi pasir tuk kau genggam dengan erat,
meski tercecer dari khilaf jarimu merapat,
tak mengapa,
karena bersama kamu harus merupa laut,
menjadi tenang dalam debur ombak,
berenang melawan arus rasa menyesak,
menjelma menjadi senja yang berusaha tak meledak,
meranum tanpa bisa teraih riak laut mendebur,
berusaha tak hilang bersama waktu yang mengabur,
menjelma kisah tak rangkap yang malu-malu diretas rasa tak akur.


-Tasha Fairus


http://berbagicangkir.blogspot.co.id/


(Interpretasi lagu Langit dan Laut, Banda Neira)

Langit yang Ingkar dan Laut yang Tengkar

Langit ingkar malam itu, ia penuhi kepalamu dengan ketidak-menentuannya.
Segala tanya yang enggan kita suarakan masih menyesakkan langit dan relungnya.
Segala tanya yang penuh sesak itu bermuara pada sesal.
Sementara laut masih tengkar akan ketidak-tahuanku.
Dan kamu masih bersungut dengan segala ragumu.
Langit yang ingkar dan laut yang tengkar, dan tanda tanya itu masih menjadi rahasia yang sesakkan jiwa kita.


-Muhammad Gana
http://dioramakata.blogspot.co.id/


(Interpretasi lagu Langit dan Laut, Banda Neira)
melangkah dan berlari di pagi hari ditemani sang mentari
melewati tarian segala daun di balik embun yang menguap terhempas angin malam itu

menari dan menari di bawah rembulan tak ada seorangpun mau bernyanyi
menikmati hujan tak kunjung usang 
terdengar gemuruh dari barat 
terhempas segala sesal yang pernah ada mencoba melupakan isi jiwa
tak ada langit sore ini karena sang mentari kembali menangis
jiwa yang tak kunjung kembali tersesat di tengah lautan
mencari teman untuk berbicara dan berbagi
menjadi sebuah kelelahan dan juga kelemahan
hiruk pikuk kota membuat dirinya lelah mencari
menangis di setiap langkahnya, tak ada lagi jiwa yang diisi keidupan
hanya ada kehampaan yang tersisa.
kini hilanglah sang mentari itu, untuk sekali lagi


-Raditya Satyoputra


(Interpretasi lagu Langit dan Laut, Banda Neira)

Rabu, 18 Mei 2016

Saat Kau Jadi Milikku

Dibawah bintang ku bernyanyi
Di bawah bulan ku bersenandung
Di bawah namamu ku jatuh cinta
Tepat,
Disaat itu aku melupakan
Segala rasa yang tak pernah ada.
Akankah ada kemungkinan
Detak nadi yang semakin cepat
Kenyataan yang menjadi mimpi
Saat kau jadi milik ku.


-Raditya Satyoputra

Minggu, 08 Mei 2016

Dua yang Ganjil

Pada senja yang ganjil,
di hari yang terlalu padat untuk dihabiskan,
terlalu lengang untuk dirasakan.
Pada sebuah kedai tak asing,
di waktu yang terlalu terang untuk diramaikan,
terlalu temaram untuk dibubarkan.

Tersimpan dua di antara sekian.
Menyendiri dalam bingar tak hingar, sepi tak sunyi.
Larut dua dari mereka dalam hening masing-masing,
seolah diam tak habis dikulum, lamun tak lepas diurai dari kusut.
Percakapan tak lahir sore itu,
terlalu prematur,
sementara tumpuk tanya tak lengkap tak ingin hidup dalam inkubasi,
atas dasar keterburuan waktu.

Dua yang tak saling tahu,
terlalu sibuk tuk sekedar merapat,
terlalu singkat tuk mencari cara merekat.
Dua yang bingung menamakan,
saling mencari dalam keserakahan tahu satu dan lain,
menjadi cerita yang gagap untuk dituliskan,
menjadi langit dini hari yang dingin dengan ribuan kemungkinan.

Dua yang menebak makna atas ketetapan dan jalan,
lahir dari ketidak sengajaan,
tumbuh perlahan dari cakap diam-diam,
besar dan dewasa dalam penantian;
dengan segala harap akan pengulangan senja yang genap,
rapat dan rekat,
di sebuah kedai tak asing,
tanpa harus mengulang asing.




-Tasha Fairus
http://berbagicangkir.blogspot.co.id/

Bulan Malam Ini

Malam ini bulan membuka jalan pulang,
diteduhinya rimba musafir yang letih tertatih

Malam ini bulan begitu hangat,
dipeluknya sukma Hawa
dan mekarlah ladang hatinya

Malam ini bulan begitu arif,
disampaikannya jejak kerinduan tuan
Ia buka gerbang hati puan

Malam ini bulan merah jambu
Tuan dan Puan tersipu malu

Tuan musafir tak lagi kelana
Ia rebah menyandarkan lelah
Hawa tak lagi mendamba
Ia sempurna merona

Bulan merah jambu,
dua sukma bersatu




-Muhammad Gana
http://dioramakata.blogspot.co.id/

Minggu, 01 Mei 2016

Tanpa Laku

Menjadi laut tenang.
Menjadi riak-riak kecil yang pasrah dihempaskan kemana angin bertiup.
Menjadi kapal kecil yang tak berlayar, 
hanya menjangkar pada dasar lautan tak bernama,
menikmati tarian ombak.

Menjadi langit pukul tiga.
Menjadi titik tak siang juga tak sore,
tak terik juga tak teduh.
Melayang di antara awan angan dan nyata daratan,
menjadi penikmat tanpa laku dan hasrat.

Menari tanpa iringan musik.
Membaca tanpa barisan kata dalam buku.
Melangkah tanpa tuntunan peta.
Menjadi jeda, tak membuah kata, tak menutup barisan menjadi titik.

Aku,
dan sikap tuk tidak berlaku.
Menjadi asing di antara lalu lalang pinggiran jalan.
Menjadi asap tembakau di antara kumpulan percakapan.
Belajar tuk tak memilih, melepas, maupun menunggu.
Menjadi laut tenang pukul tiga yang mengisi ingin menjadi penuh.
Menjadi diri yang mengutuh.



-Tasha Fairus