Setiap pukul sembilan petang mereka memejam dalam-dalam. Mengumpul emosi
napas lalu meberangusnya sampai hitam, sama warna dengan malam. Tidak
ada yang kelihatan.Setiap pukul sembilan petang,mereka tidak pernah
hadir dalam kuluman mulut yang menyumpalnya dengan lembar-lembar merah
nominal ratusan, mereka tidak pernah hadir dalam debar para-para
pelampias yang hadir tanpa merah muda, mereka menutup mata dan dirinya
dibatas tidak kelihatan, dibatas kastil bertembok hitam. Was-was mereka
mengaca, semoga tampak tebal dan pantas dilecehkan sekelihatannya.
Tenang saja mereka berdialog sendiri, toh kini bukan dirinya yang
terpantul di kaca, bedak-bedak tebal dan gincu merah yang kontras dengan
pucat riasnya, toh kini bukan dia.
Diantara tiga belas wanita yang berdiri di tiap pukul sembilan keatas,
cuma dia yang bergincu merah muda. Pertama bergabung ia sudah menegas
bahwa tidak ada warna gincunya selain merahmuda. Merah muda menurutnya
lebih tegas dari tebal merah darah, merah adalah sekelumit pasrah yang
tidak sudah-sudah. Sudah, sudah cukup batas toleransinya ikut ritual
menutup diri di kastil hitam seperti anggota lainnya, cukup batasnya
memberangus setiap rasa hingga hitam , hingga rasa-rasanya hanya berhak
jadi latar. Ia masih punya impian diantara tiap ritual , ia tidak mau
tambah lenyap lewat merah darah pasrah yang seragam, ia masih ingin
punya cinta, ia ingin setidaknya hidup, meski cukup lewat seulas merah
muda.
#prosaproject
by: @malyasophi
http://maleospecia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar