Minggu, 15 Juli 2012

Pelangi Fana dan Bernoda | @afsahenda

Entah retina, kornea beserta kawan-kawannya yang tak miliki fungsi. Atau gendang tak ditabuh yang pura-pura tuli. Atau kulit ari terbius sampai kebas, terasa tidak jika nyeri. Atau detik saja yang sedang tak indah. Atau udara yang dihirup sudah beda. Atau hujan yang dengan sadar tak lagi dinikmati di atas pelangi. Atau angin yang mulai kencang membuat warna-warna cerahnya sirna. Atau.. Ada pelangi yang tampak lebih sempurna hingga kau singgah dan terlena disana dengan seorang dara yang lebih anggun lakunya?
Aku sedang duduk di atas bias tinta berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Mungkin manusia lain juga mengerti. Pelangi ini, adalah milikmu dan aku. Adalah milik kita. Adalah satu yang selalu kita pertahankan. Adalah hal yang paling kita perhatikan. Adalah prioritas utama. Aku ingat dahulu, kau berjanji bahwa akan selalu mewarnanya dengan tinta-tinta merekah sekalipun badai sedang melanda. Membalas hal sama, aku mengikrar agar merawatnya tetap merona. Membersihkan jika ada tinta yang menetes lalu tak kuasa menahan gelak yang meriak. Karena itu merupakan nodamu. Selalu kau yang tak hati-hati dengan jemari, tapi selalu kau yang berusaha setia sekuat jiwa raga. Kita sama-sama berjanji menjaga baris-baris warnanya lalu tak akan mencipta noda. Kau juga pernah katakan padaku, aku akan membuatmu menjadi perempuan satu-satunya yang memiliki pelangi paling mempesona. Aku akan menjadikan pelangi kita sebagai pelangi terindah yang pernah ada di jagad raya. Aku akan membuat manusia-manusia lain antusias membicarakan pelangi yang kita punya. Biarkan saja mereka mencoba menodai pelangi kita. Aku yang lebih dulu akan membereskannya. Aku rela membeli pewarna paling meriah agar pelangi kita terus terjaga. Tak peduli berapa yang harus aku korbankan. Yaa.. Walaupun aku tau sesaat setelah aku mengembalikan pekatnya, akan ada tetes yang kau tertawakan. Lalu kau menuduhku bodoh sekenanya. Merasa kesal dan tak terima, aku ciptakan garis tak beraturan di pipi putihmu. Kau juga kesal kan setelahnya? Satu sama. Asal kau tau, momen itulah yang paling aku tunggu saat berada di atas sini. Di atas pelangimu dan pelangiku ini. Tapi aku tak bisa membuatnya sempurna jika dengan diriku saja. Aku butuh kau. Dan di akhir cerita, aku akan mengisi penuh kalbu dan kepalamu hanya dengan dua hal berharga: aku, dan pelangi kita yang sempurna nantinya. Aku tak akan menodainya. Aku tak akan. Aku berikrar atas nama kau dan pelangi ini. Janji milikku adalah yang sebenar-benarnya.
Namun.
Semua yang baru saja tiba dalam rongga otak tak ada dalam ekspektasiku. Dara itu, tak jua sempat singgah di ingatan. Aku jauh di atas normal. Aku tidak pernah berpikir kan tenggelam dalam pelangi yang bernoda. Aku berurai air mata sendirian, remuk redam sendirian, terengah-engah sendirian, tersenyum pahit sendirian, sedu sedan sendirian. Bahkan aku sampai berbicara sendirian untuk sekedar menghibur debar lara yang kau tinggalkan dan sedang mencoba bertahan. Nodamu yang mana yang tak aku rapikan? Tintamu yang mana yang aku serakkan? Kuasmu yang mana yang tak aku bersihkan? Ternyata persepsiku malang. Saat aku merasa pelangi ini nyaris sempurna, kau tak lagi ingin menambah pekatnya. Malah menjejak noda dimana-mana. Saat aku merasa pelangi ini benar-benar hanya milik kita, ia berbisik bahwa telah ada sepasang manusia yang dipisahkan oleh satu ingkar. Jua oleh seorang dara jelita. Yang membuat pelangi ciptaannya sendiri berlumur noda.
Atasmu aku haturkan, terimakasih atas pelangi fana nan penuh noda.
 
by: @afsahenda
http://sahenda.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar