Minggu, 15 Juli 2012

Tentang Kematian | @saraahaghnia

Seorang lelaki berlari membelah malam. Peluh mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Ia tampak lelah, namun sesekali ia menoleh ke belakang. Waspada. Walau begitu, ia tetap memaksa mengayuhkan langkahnya yang kian memendek karena energinya yang menipis setelah seharian lebih ia berlari. Juga karena dahan-dahan dan ranting-ranting pohon yang mulai mengganggunya.
                Dua Hari yang lalu, mimpi itu kembali datang. Ia akan mati besok, artinya ia kan mati setelah hari ini dalam beberapa jam ke depan. Seseorang datang ke dalam mimpinya dan mengatakan hal itu padanya. Sebelumnya selama seminggu tidurnya tak lagi nyenyak. Ia terus bermimpi tanpa ujung yang jelas. Mulai dari rentetan masa kecilnya hingga sebuah mimpi dimana ia melihat seluruh keluarganya menangisi jasadnya.
                Sempat ia mendatangi “orang pintar” dan bertanya perihal mimpi-mimpinya. Lelaki tua di hadapannya mendadak pucat pasi setelah menyembur air yang entah apa campurannya ke dupa yang terbakar. Wajahnya seputih jenggotnya yang panjang hampir sedada. Saat ia bertanya apa yang lelaki tua itu lihat, lelaki itu berulang kali berkata, Sebentar, dan kembali merapal mantra.
                Bau dupa bakar kian menyengat, menyeruak ke seluruh ruangan menusuk hidungnya yang mulai tak nyaman. Lelaki tua yang katanya “orang pintar” itu akhirnya mendesah, menyerah kemudian berkata, Kau akan mati. Besok. Di saat fajar pertama mulai menyinari bumi.
                Ia tersentak. Bagaimana orang pintar ini tahu pesan di mimpi terakhirnya bahkan sebelum ia mengatakannya? Namun, ia kembali bertanya, Dimana?
                Saya tidak tahu, saya hanya membaca dan menafsirkan apa yang datang dalam mimpimu, lelaki tua itu berujar sambil menggeleng.
                Ia hampir gila. Atau mungkin sudah. Ia akan mati besok! Pikiran pertama yang melintas di kepalanya adalah ia tidak boleh tidur. Itu hanya akan mempermudah kematian menyergapnya tanpa permisi. Ia lantas hampir seharian menyusuri kota, mencari kafein terbaik yang paling ampuh untuk membuatnya terjaga.
                Waktu memburunya. Genderang kemar=tian terasa memekakkan telinganya.
                Ia berlari menjauhi kota. Berharap ada tempat persembunyian baginya. Dimana tiada sesuatupun disana, hanya dirinya. Kalau perlu ia ingin sekali berkelana menembus dimensi, menipu waktu juga takdirnya. Dan hari mulai berganti malam. Kelam menyeliimuti bumi. Suasana mencekam menggelayutinya di antara atmosfer dalam hutan ini.
Waktunya tak banayk untuk kabur dari kematiannya. Jika ia berhasil kabur setidaknya hingga fajar datang sekali lagi saja, mungkin ia bisa lolos.
                Otaknya mulai tidak beres. Ia berkhayal seperti apakah wujud malaikat yang akan menjemputnya? Seperti apakah rasanya mati? Sakitkah? Ia terkekeh.
                Namun sepersekian detik kemudian ia mengusir pikiran-pikiran gila dalam benaknya dan kembali mempercepat larinya. Ia terus berlari dan sesekali melirik jam di tangannya. Sebentar lagi. Hanya sedikit lagi. Detik terakhir di hari itu matahari mulai tampak bersinar walau masih malu-malu.
                Dan ia bebas!
                Ia tidak melihat sosok itu. Sosok yang beberapa menit yang lalau sibuk ia bayangkan. Ia merasa ringan. Ringaaaaan sekali. Ia menghela napas lega. Namun aneh. Ia tak merasa lelah setelah hampir sehari lebih ia berlari. Ia tak merasa….
                Dimana detak jantungnya? Dimana embusan napasnya? Dimana hangatnya suhu tubuhnya?
                Ia menoleh ke bawah dan mendapati raganya tergolek bermandikan darah di dasar sebuah jurang. Lelaki itu tak dapat berpikir banyak. Ia berusaha mencari tahu dengan melihat sekeliling. Matanya tibia-tiba membelalak saat melihat suatu sisi.
                Kemudian gelap.
                Genderang kematian kemudian mengantarkannya menuju tujuan selanjutnya. Malaikat pencabut nyawa, Tuhan, penghuni langit dan bumi mungkin terkekeh dengan usahanya yang sia-sia. Sebuah asa tanpa harapan nyata.
                Tak akan ada yang dapat lolos dari kematian. Pun saat kau bersembunyi di tempat yang tak akan dapat dijangkau siapapun di dunia yang fana ini.
Kematian adalah pasti. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Dimana ia akan mengantarmu untuk pemberhentianmu yang selanjutnya dari hiruk pikuk duniamu.

by: @saraahaghnia
http://uncoloursky.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar