Seorang lelaki berlari membelah malam. Peluh mengalir
deras dari sekujur tubuhnya. Ia tampak lelah, namun sesekali ia menoleh ke
belakang. Waspada. Walau begitu, ia tetap memaksa mengayuhkan langkahnya yang
kian memendek karena energinya yang menipis setelah seharian lebih ia berlari.
Juga karena dahan-dahan dan ranting-ranting pohon yang mulai mengganggunya.
Dua Hari yang lalu, mimpi itu kembali datang. Ia akan mati besok, artinya ia
kan mati setelah hari ini dalam beberapa jam ke depan. Seseorang datang ke
dalam mimpinya dan mengatakan hal itu padanya. Sebelumnya selama seminggu
tidurnya tak lagi nyenyak. Ia terus bermimpi tanpa ujung yang jelas. Mulai dari
rentetan masa kecilnya hingga sebuah mimpi dimana ia melihat seluruh
keluarganya menangisi jasadnya.
Sempat ia mendatangi “orang pintar” dan bertanya perihal mimpi-mimpinya. Lelaki
tua di hadapannya mendadak pucat pasi setelah menyembur air yang entah apa
campurannya ke dupa yang terbakar. Wajahnya seputih jenggotnya yang panjang
hampir sedada. Saat ia bertanya apa yang lelaki tua itu lihat, lelaki itu
berulang kali berkata, Sebentar, dan kembali merapal mantra.
Bau dupa bakar kian menyengat, menyeruak ke seluruh ruangan menusuk hidungnya
yang mulai tak nyaman. Lelaki tua yang katanya “orang pintar” itu akhirnya
mendesah, menyerah kemudian berkata, Kau akan mati. Besok. Di saat fajar pertama mulai
menyinari bumi.
Ia tersentak. Bagaimana orang pintar ini tahu pesan di mimpi terakhirnya bahkan
sebelum ia mengatakannya? Namun, ia kembali bertanya, Dimana?
Saya tidak
tahu, saya hanya membaca dan menafsirkan apa yang datang dalam mimpimu, lelaki tua itu berujar sambil menggeleng.
Ia hampir gila. Atau mungkin sudah. Ia akan mati besok! Pikiran pertama yang
melintas di kepalanya adalah ia tidak boleh tidur. Itu hanya akan mempermudah
kematian menyergapnya tanpa permisi. Ia lantas hampir seharian menyusuri kota,
mencari kafein terbaik yang paling ampuh untuk membuatnya terjaga.
Waktu memburunya. Genderang kemar=tian terasa memekakkan telinganya.
Ia berlari menjauhi kota. Berharap ada tempat persembunyian baginya. Dimana
tiada sesuatupun disana, hanya dirinya. Kalau perlu ia ingin sekali berkelana
menembus dimensi, menipu waktu juga takdirnya. Dan hari mulai berganti malam.
Kelam menyeliimuti bumi. Suasana mencekam menggelayutinya di antara atmosfer
dalam hutan ini.
Waktunya tak banayk untuk kabur dari kematiannya. Jika
ia berhasil kabur setidaknya hingga fajar datang sekali lagi saja, mungkin ia
bisa lolos.
Otaknya mulai tidak beres. Ia berkhayal seperti apakah wujud malaikat yang akan
menjemputnya? Seperti apakah rasanya mati? Sakitkah? Ia terkekeh.
Namun sepersekian detik kemudian ia mengusir pikiran-pikiran gila dalam
benaknya dan kembali mempercepat larinya. Ia terus berlari dan sesekali melirik
jam di tangannya. Sebentar lagi. Hanya sedikit lagi. Detik terakhir di hari itu matahari mulai tampak
bersinar walau masih malu-malu.
Dan ia bebas!
Ia tidak melihat sosok itu. Sosok yang beberapa menit yang lalau sibuk ia
bayangkan. Ia merasa ringan. Ringaaaaan sekali. Ia menghela napas lega. Namun
aneh. Ia tak merasa lelah setelah hampir sehari lebih ia berlari. Ia tak
merasa….
Dimana detak jantungnya? Dimana embusan napasnya? Dimana hangatnya suhu
tubuhnya?
Ia menoleh ke bawah dan mendapati raganya tergolek bermandikan darah di dasar
sebuah jurang. Lelaki itu tak dapat berpikir banyak. Ia berusaha mencari tahu
dengan melihat sekeliling. Matanya tibia-tiba membelalak saat melihat suatu
sisi.
Kemudian gelap.
Genderang kematian kemudian mengantarkannya menuju tujuan selanjutnya. Malaikat
pencabut nyawa, Tuhan, penghuni langit dan bumi mungkin terkekeh dengan
usahanya yang sia-sia. Sebuah asa tanpa harapan nyata.
Tak akan ada yang dapat lolos dari kematian. Pun saat kau bersembunyi di tempat
yang tak akan dapat dijangkau siapapun di dunia yang fana ini.
Kematian adalah pasti. Kematian adalah sebuah
keniscayaan. Dimana ia akan mengantarmu untuk pemberhentianmu yang selanjutnya
dari hiruk pikuk duniamu.
by: @saraahaghnia
http://uncoloursky.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar