Minggu, 15 Juli 2012

Lelaki Bersayap Hujan | @saraahaghnia

Saya baru pertama melihat kamu, tadi siang. Tuhan mempertemukan kita saat hujan turun ke bumi, menyapa saya dengan gerimis kecil. Juga dengan desah lembut angin yang terkadang mampir di antara kulit saya. Saya merapatkan lipatan tangan saya di depan dada, berharap dinginnya akan berkurang. Percuma. Saya menyeringai merutuki usaha sia-sia saya.
Lalu kamu datang, dan kita bertukar pandang layaknya kisah cinta dalam sebuah novel. Mata kita beradu sepersekian detik. Kilatan sepersekian detik itu memacu jantung saya untuk memompa lebih cepat. Untuk berlari lebih heboh layaknya pacuan kuda. Tapi kamu segera berlalu sesaat.
Ah. Ini bukan tempat dan waktu yang tepat. Saya merajuk kepada takdir yang tidak menjadwalkan segalanya dengan tepat dan cermat—setidaknya belum. Saya menunggu kamu keluar dari sana, sebuah tempat pencetakan foto kecil di sudut jalan. Saya baru sadar kamu sedari tadi menenteng sebuah kamera yang juga menggantung di lehermu yang terlihat jenjang, indah.
Tetapi, tidak akan terjadi percakapan. Persis seperti yang saya ramalkan sebelumnya. Saya tidak punya banyak waktu. Dan seperti mengerti, kamu muncul  dengan seorang teman. Tidak, saya masa bodoh dengan temanmu. Saya lebih tertarik dengan sesuatu di balik punggungmu. Saya berharap saya berimajinasi karena saya melihat untaian sayap indah melengkung terbentuk oleh butiran gerimis yang membelah bumi. Saya mengerjapkan mata, takjub.
Lalu kamu mengobrol. Ah. Saya rasa kamu perlu mendapat sebuah medali. Kamu sukses membuat saya jatuh cinta, tenggelam dalam imajinasi liar bernama asa. Termakan oleh cahaya yang terlihat berpendar di wajahmu yang berseri.
Kulitmu cokelat, terbakar teriknya matahari.
Badanmu yang tegap dan tinggi, saya mungkin hanya sepundakmu.
Matamu. Saya benar-benar jatuh cinta. Matamu yang tampak seperti garis tipis di bawah bingkai alismu yang tebal. Sipit, tapi memancarkan kehangatan yang sempurna.
Kemeja lengan pendek berbahan flannel kotak-kotak cokelat dengan celana pendek warna senada melekat indah membalut ragamu.
Ah. Rambutmu, saya suka sekali. Beberapa helai menjuntai layu dan basah menyentuh dahimu akibat terpaan gerimis yang kamu tembus.
Saya masih mengamati kamu. Dan terus begitu.
Saya harap temanmu mulai jengah dan membisikkanmu kata-kata semacam ini; Hei, gadis itu terus memandangimu. Saya rasa dia tertarik padamu. Datang dan sapalah dia.
Saya masih terus menunggu kamu datang, di bawah gerimis yang mulai reda dan menyeret matahari untuk segera bertugas lagi. Saya masih berdiri sendiri mengagumi setiap jengkal titipan Tuhan yang dipercayakan melekat di ragamu.
Tapi.
Saya sudah bilang waktu saya tidak lama. Saya sudah bilang saya tidak punya cukup, apalagi banyak waktu. Seseorang menghampiri saya, membuyarkan fantasi gila saya dan menyeret saya pada kenyataan. Saya masih memandangi kamu. Berharap kamu sedikit saja berpaling melihat saya. Dan hanya ekor mata itu yang terakhir saya tangkap. Ekor mata yang menunjukkan bahwa kamu menyadari keberadaan saya.
Taukah kamu, lelaki bersayap hujan? Saya terus berdoa pada Tuhan hingga kini.
Tuhan, bolehkah saya berharap? Bolehk ah saya bertemu dengan dia lagi—lelaki bersayap hujan? Bolehkah saya sejenak saja sekali lagi mengagumi ciptaanmu? Bolehkah saat waktu itu tiba segala ketidakmungkinan menjadi mungkin, dimana segala sesuatunya terasa tepat? Bolehkah saatnya nanti takdir mampu menjadwalkannya dengan sempurna? Bolehkah saya?

by: @saraahaghnia
http://uncoloursky.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar