Saya baru pertama melihat kamu, tadi siang. Tuhan
mempertemukan kita saat hujan turun ke bumi, menyapa saya dengan gerimis kecil.
Juga dengan desah lembut angin yang terkadang mampir di antara kulit saya. Saya
merapatkan lipatan tangan saya di depan dada, berharap dinginnya akan
berkurang. Percuma. Saya menyeringai merutuki usaha sia-sia saya.
Lalu kamu datang, dan kita bertukar pandang layaknya kisah
cinta dalam sebuah novel. Mata kita beradu sepersekian detik. Kilatan
sepersekian detik itu memacu jantung saya untuk memompa lebih cepat. Untuk
berlari lebih heboh layaknya pacuan kuda. Tapi kamu segera berlalu sesaat.
Ah. Ini bukan tempat dan waktu yang tepat. Saya merajuk
kepada takdir yang tidak menjadwalkan segalanya dengan tepat dan
cermat—setidaknya belum. Saya menunggu kamu keluar dari sana, sebuah tempat
pencetakan foto kecil di sudut jalan. Saya baru sadar kamu sedari tadi
menenteng sebuah kamera yang juga menggantung di lehermu yang terlihat jenjang,
indah.
Tetapi, tidak akan terjadi percakapan. Persis seperti yang
saya ramalkan sebelumnya. Saya tidak punya banyak waktu. Dan seperti mengerti,
kamu muncul dengan seorang teman. Tidak,
saya masa bodoh dengan temanmu. Saya lebih tertarik dengan sesuatu di balik
punggungmu. Saya berharap saya berimajinasi karena saya melihat untaian sayap
indah melengkung terbentuk oleh butiran gerimis yang membelah bumi. Saya
mengerjapkan mata, takjub.
Lalu kamu mengobrol. Ah. Saya rasa kamu perlu mendapat
sebuah medali. Kamu sukses membuat saya jatuh cinta, tenggelam dalam imajinasi
liar bernama asa. Termakan oleh cahaya yang terlihat berpendar di wajahmu yang
berseri.
Kulitmu cokelat,
terbakar teriknya matahari.
Badanmu yang tegap dan
tinggi, saya mungkin hanya sepundakmu.
Matamu. Saya
benar-benar jatuh cinta. Matamu yang tampak seperti garis tipis di bawah
bingkai alismu yang tebal. Sipit, tapi memancarkan kehangatan yang sempurna.
Kemeja lengan pendek
berbahan flannel kotak-kotak cokelat dengan celana pendek warna senada melekat
indah membalut ragamu.
Ah. Rambutmu, saya
suka sekali. Beberapa helai menjuntai layu dan basah menyentuh dahimu akibat
terpaan gerimis yang kamu tembus.
Saya masih mengamati kamu. Dan terus begitu.
Saya harap temanmu mulai jengah dan membisikkanmu kata-kata
semacam ini; Hei, gadis itu terus
memandangimu. Saya rasa dia tertarik padamu. Datang dan sapalah dia.
Saya masih terus menunggu kamu datang, di bawah gerimis yang
mulai reda dan menyeret matahari untuk segera bertugas lagi. Saya masih berdiri
sendiri mengagumi setiap jengkal titipan Tuhan yang dipercayakan melekat di
ragamu.
Tapi.
Saya sudah bilang waktu saya tidak lama. Saya sudah bilang
saya tidak punya cukup, apalagi banyak waktu. Seseorang menghampiri saya,
membuyarkan fantasi gila saya dan menyeret saya pada kenyataan. Saya masih memandangi
kamu. Berharap kamu sedikit saja berpaling melihat saya. Dan hanya ekor mata
itu yang terakhir saya tangkap. Ekor mata yang menunjukkan bahwa kamu menyadari
keberadaan saya.
Taukah kamu, lelaki bersayap hujan? Saya terus berdoa pada
Tuhan hingga kini.
Tuhan, bolehkah saya
berharap? Bolehk ah saya bertemu dengan dia lagi—lelaki bersayap hujan?
Bolehkah saya sejenak saja sekali lagi mengagumi ciptaanmu? Bolehkah saat waktu
itu tiba segala ketidakmungkinan menjadi mungkin, dimana segala sesuatunya terasa
tepat? Bolehkah saatnya nanti takdir mampu menjadwalkannya dengan sempurna?
Bolehkah saya?by: @saraahaghnia
http://uncoloursky.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar